Senangnya bisa menginjakkan kaki kembali di tanah kelahiran,
Tanah Karo. Tiga tahun lebih tidak pulang kampung, banyak yang berubah. Dulu
sepanjang jalan ke kampungku, mulai dari berastagi aku bisa melihat pohon jeruk
di kiri kanan jalan dengan buah-buahnya yang ranum itu, namun saat pulang kali
ini tanamannya sudah beragam, pohon jeruk hanya sedikit dan sebagian hanya
tinggal ranting-rantingnya saja. Ya. Kata Bapak itu karena serangan hama lalat
buah. Sempat berpikir, bagaimana bisa terjadi? Bagaimana tindakan pemerintah
dan dimana semua para insinyur-insinyur pertanian yang membanggakan itu? Mungkin
mereka lupa pada nasib para petani seperti Bapak karena tidak menguntungkan
bagi mereka.
Eitss. Sudahi saja mengeluh pada pemerintahan negeri ini.
tidak akan pernah habis dan bisa jadi aku tambah depresi :D
Hahaha
Pulang ke kampung halaman dengan predikat Sarjana pengangguran itu seperti memikul gunung dipundak. Banyak tanggapan yang harus aku terima, baik tanggapan positif dan negatif. Saudara, tetangga, tetangga jauh, tetangga jauh-sangat jauh turut memberi tanggapan. Aku jadi heran, apa aku sepopuler itu? Namun sayangnya tidak ada satu pun diantara mereka yang menawarkan pekerjaan, huftth.. . sempat kesal juga, namun Ibuk selalu bilang untuk sabar dan ambil hikmahnya saja. Jadikan motivasi saja.
Pulang ke kampung halaman dengan predikat Sarjana pengangguran itu seperti memikul gunung dipundak. Banyak tanggapan yang harus aku terima, baik tanggapan positif dan negatif. Saudara, tetangga, tetangga jauh, tetangga jauh-sangat jauh turut memberi tanggapan. Aku jadi heran, apa aku sepopuler itu? Namun sayangnya tidak ada satu pun diantara mereka yang menawarkan pekerjaan, huftth.. . sempat kesal juga, namun Ibuk selalu bilang untuk sabar dan ambil hikmahnya saja. Jadikan motivasi saja.
Sore dan Pagi di dataran tingggi ini selalu terasa dingin.
Dan sore ini udara dingin mulai menyelimuti kulitku seiring terbenamnya
matahari. Kuputuskan untuk menyalakan perapian di samping rumah, tempat yang dulu
kami gunakan untuk memasak makanan hewan ternak ataupun sekedar berdiang.
Sambil menghangatkan diri aku memperhatikan ayam-ayam kami kembali ke kandangnya. Induk ayam yang
memiliki anak2 yang masih kecil mengiringi anaknya satu persatu masuk ke
kandangnya yang dalam bahasa karo disebut ‘sunun’. Sementara ayam-ayam besar
kembali ke ‘lipau’. Sebenarnya Bapak sudah membuat ‘lipau’ tempat ayam ini di
belakang rumah, namun ternyata ayam-ayam ini lebih suka tinggal di pohon yang
tumbuh di depan rumah. Disamping pohon yang tidak terlalu tinggi itu ada
sebatang bunga Sri Rejeki yang digunakan oleh ayam2 sebagai tangga menaiki
pohon. Satu persatu mereka terbang menaiki dahan demi dahan untuk sampai di
tempat paling nyaman.
Ada seekor induk ayam yang mencuri perhatianku. Induk ayam
dan anak-anaknya yang masih belajar ‘terbang’ juga ingin menaiki pohon ini. Setelah
si ibu ayam sampai ke dahan , dia bersuara “tekotekotekok” (aku gak ngerti
artinya apa) memanggil anaknya. Anaknya hanya menciap-ciap dari permukaan
tanah. Induknya kemudian turun lagi dan berkeliling ditanah sambil
berkotek-kotek, kemudian terbang ke batang bunga Sri Rejeki, kedahan pohon
pertama, dahan kedua dan seterusnya sambil terus berkotek-kotek. Anak-anaknya
mencoba mengikuti ,terbang kecil melalui batang bunga ke dahan pohon. Beberapa
kali anak ayam itu jatuh kembali ke tanah, namun akhirnya anak-anak ayam itu
berhasil sampai ke dahan tempat induknya berada.
Lucu. Aku ikut merasa lega sekaligus terharu melihat keluarga kecil ayam tanpa ayah itu. Iya, belajar dari ketabahan seekor induk ayam memang terasa lucu. Induk ayam biasanya sangat melindungi anaknya. Jika cuaca dingin, induk ayam menghangatkan anaknya dibawah sayapnya. Jika ada hewan lain yang mendekat induk ayam akan mengembangkan bulunya (marah/waspada) dan siap-siap menyerang. Induk ayam mengais-ngais tanah mencari makanan, dan memberikannya pada anaknya.
Melihat induk ayam aku jadi teringat Bapak dan Ibuk. Jika
seekor induk ayam saja sepeduli itu pada anaknya, pastinya Bapak dan Ibuk
sangat mencintai kami anak-anaknya. Dengan penuh kasih sayang membesarkan,
merawat, menafkahi, mendidik, dan ...semua pengorbanan yang tak terkira. Dulu
aku merasa tidak puas dengan keluargaku. Kenapa keluargaku tidak kaya dan
berkecukupan? Kenapa tidak ada yang peduli padaku? Kenapa dengan keluarga ini? Dulu
Aku memilih kuliah di luar kota, karena Aku ingin jauh dari mereka, ingin bebas
dari suasana yang membosankan itu. Tapi ternyata aku tak bisa. Jarak dan waktu
yang memisahkan tenyata membuatku sadar aku butuh mereka. Aku merindukan
keluargaku. Aku rindu suasana rumah kecil yang selalu ramai itu. Pada kerutan diwajah Bapak saat dia
tertawa pada omelan Ibuk. Rindu pada sikap cuek Abang. Rindu pada cerewet dan
celotehan Fifit, rindu pada Dirga. Saat ini...saat aku akan pergi meninggalkan
mereka lagi rasanya sangat berat. Aku tak ingin meninggalkan mereka. Rasanya
ingin selalu berada didekat Bapak dan Ibuk saat mereka menjalani masa tuanya. .
Ingat mereka membuatku ingin menangis. Sampai saat ini belum
ada hal yang kulakukan untuk membahagiakan Bapak dan Ibuk. Entah berapa lama
lagi aku bisa hidup bersama dengan mereka, memikirkannya saja membuatku sedih.
Hanya bisa berdoa pada Tuhan, semoga mereka diberikan kesehatan, umur yang
panjang, agar aku bisa melukiskan senyum diwajah mereka . .
with Love,
Avemistika Karosekali